Saat itu Adalah Hari yang Sulit
Artikel ini ditulis pada 29 April 2020, saat bosan di tengah pandemi. Dipublikasikan di komunitas pribadi, dan sekarang dipublikasikan untuk umum.
Suatu kali, aku pernah
bercita-cita; menjadi salah seorang murid sekolah berasrama terbaik di
Indonesia. Tak perlu kusebut namanya, agaknya semua orang sudah tahu. Sebuah
Madrasah Aliyah Negeri yang kudengar dulu merupakan gagasan dari Alm. B.J.
Habibie. Sekolah itu adalah sekolah yang sangat aku impikan. Semenjak kelas 3
SMP, sudah terbayang bagaimana aku akan menjalani hari-hariku di asrama bersama
teman-teman.
Namun seleksinya tidak mudah, terlebih bagiku yang berasal
dari SMP swasta. Oleh karenanya, aku berusaha semampuku, jika itu bisa dibilang
berusaha. Terutama mengikuti tambahan kelas bahasa Arab untuk mengikuti seleksi
tertulis nantinya – yang dari sini aku mendapat kejutan sebuah tanda tangan.
Alhamdulillah. Betapa senangnya aku ketika dinyatakan lulus seleksi berkas, bersama kedua teman seperjuanganku yang lain. Aku tidak terbiasa mengikuti les – sampai SMA pun – tetapi aku lupa apakah saat itu aku memanfaatkan kerja sama sekolahku dengan suatu bimbingan belajar. Hal yang aku ingat adalah aku meminjam buku saku mata pelajaran MIPA dari salah seorang teman sekelasku. Paham? Enggak. Enggak ngerti pake banget.
Saat itu, aku memilih untuk
melaksanakan seleksi di regional Jawa Tengah, yang berarti aku akan menjalani
seleksi di Pekalongan. Setelah kupikir-pikir saat itu, kenapa aku tidak memilih
untuk ujian seleksi di Yogyakarta saja, ya? Kan, lebih dekat.
Pekalongan adalah tempat yang asing bagiku. Aku sama sekali
belum pernah berkunjung ke sana sebelumnya. Membayangkan tempatnya pun tidak
pernah. Inilah yang akhirnya menjadi rumit. Aku benar-benar tidak tahu nanti
harus menginap di mana sebelum ujian. Tidak tahu mau ke sana naik apa. Semua
serba meraba. Bermodalkan internet, akhirnya Ibu memesankan travel dan kamar di
suatu penginapan. Namun saat itu, Ibu tidak bisa mengantar. Akhirnya aku yang masih kecil
pun diantar Bapak.
Saat itu, 8 Mei 2015 siang, aku
berangkat ditemani Bapak naik travel. Saat itu adalah perjalanan yang panjang,
dan sangat random, jika aku ingat.
Berangkat jam 11, sampai di Pekalongan jam 5 sore, kalau tidak salah. Kami
menuju lokasi penginapan. Namun aneh. Seharusnya kamar sudah dipesan, tetapi
pihak penginapan menyangkal adanya pemesanan kamar.
Bagaimana?
Akhirnya kami menuju lokasi
ujian, melihat ruangan yang akan menjadi saksi bisu perjuanganku mengerjakan
soal ujian seleksi, jika itu bisa disebut perjuangan. Hingga magrib tiba, belum
ada kepastian akan tidur di mana. Oh iya, aku sempat berkenalan dengan salah
seorang calon peserta. Namun aku lupa ia dari mana.
Berbekal informasi dari penjaga
sekolah, akhirnya Bapak mencoba mencari indekos di sekitar MAN 2 Pekalongan.
Aku? Aku ditinggal di lingkungan sekolah. Kabarnya di MAN 2 sendiri disediakan
penginapan. Namun Bapak tidak menghendakinya.
Entah saat itu pukul berapa,
akhirnya Bapak kembali dengan membawa kabar bahwa Bapak sudah menemukan sebuah
indekos untuk menginap semalam. Indekos itu milik seorang nenek. Indekos yang
sepi karena siswi-siswi sedang pulang kampung.
Salah satu temanku yang juga
mengikuti seleksi di Pekalongan menghubungi, menanyakan aku menginap di mana.
Kubilang saja aku menginap di indekos milik seorang nenek. Ternyata temanku ini
menyusul, juga belum mendapat tempat menginap, sepertinya. Namun akhirnya ia
beserta ayah-ibunya kembali. Mungkin menginap di penginapan yang masih
menyediakan kamar kosong?
Entah mengapa malam itu indekos
nenek jadi ramai, setidaknya bagiku. Selain temanku yang datang itu, Ibu RT
juga datang berkunjung karena ada orang asing yang menginap. Saat itu aku ingat
pesan dari beliau,
“Nanti sekolah enggak usah
pacaran.”
Siap,
Bu. Masih setia menjomblo sampai detik ini pun (20.39).
Bapak pun pergi, menginap di
sekolah.
Nenek itu adalah nenek yang baik. Aku diajak makan malam,
sambil menonton TV kala itu, seolah aku cucunya sendiri. Saat makan malam, aku
melihat beberapa kamar yang tertutup pintunya, juga kasur-kasur yang ditumpuk
di ruang tv. Aku berpikir, akan tidur di mana aku nanti?
“Mbah, saumpama
kula nginep teng kamar niku pripun?” tanyaku sesopan mungkin.
“Eh, enggak! Jangan sendirian!
Kamu tidur di kamar mbah aja!” kata beliau.
Benar saja. Malam itu aku tidur
di kamar nenek itu. Alhamdulillah aku terbangun sebelum alarmku berbunyi
sehingga aku tidak akan merasa bersalah karena telah berisik.
Pagi itu, airnya dingin.
Nenek membuatkanku secangkir teh
dan cemilan dodol garut. Tak lama kemudian, Bapak datang. Nenek itu menolak
ketika Bapak hendak membayar uang sewa. Saat itu aku diam saja. Namun jika
diingat, nenek itu teramat sangat baik, terlalu baik. Apakah beliau kesepian?
Bagaimana kabar beliau sekarang? Sudah hampir 5 tahun berlalu, bukan?
Aku dan Bapak pun berpamitan,
berjalan menuju MAN 2 Pekalongan.
Ujian hari itu ... apakah berjalan lancar? Aku tidak mengingat keseluruhannya. Bahkan aku lupa, apakah saat itu ada seleksi wawancara atau tidak. Hal yang aku ingat adalah, Bapak membelikanku minuman rasa jeruk dan roti.
Pulang menjadi masalah baru. Aku lupa, apakah travel pulang sudah dipesankan Ibu atau belum. Saat itu yang aku ingat adalah travel datang pukul 9 malam. Sudah larut, dan di sana sudah sangat gelap. Namun akhirnya kami bisa pulang.
Hari yang cukup melelahkan. Travel berhenti di sebuah warung makan untuk beristirahat. Aku tidak ingat apakah aku makan atau tidak. Hal yang kuingat adalah, langit kala itu sangat gelap, membiarkan bintang-bintang bertaburan dan berkelip cantik.
Mungkin Bapak tidak well prepared seperti Ibuk yang berangkat ke stasiun pun harus sejam sebelumnya. Namun Bapak akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk aku, kakak-kakakku, dan adikku.
Dan akan selalu begitu.
Hasilnya seleksinya bagaimana?
Berat hati aku menerima kenyataan bahwa namaku tidak tercantum di antara
deretan nama calon siswa baru. Siapa yang tidak kecewa? Namun itulah awal
petualanganku yang lain, petualangan yang mempertemukanku dengan satu hal yang
paling aku syukuri selama hidup. Juga petualangan yang telah mempertemukanku
dengan sahabat-sahabat yang baik, dengan cerita-cerita yang baru, dan seseorang yang senantiasa
ditunggu.
Lambat laun aku mulai melepaskan, meski awalnya terasa bagaikan mimpi jika aku
masih hidup.
Saat ini, justru aku berteman dengan salah seorang lulusan MAN terbaik itu. Dia pun mengenal salah satu temanku yang diterima di sana – bukan yang menyusulku ke indekos. Aku sangat antusias, menanyakan ini-itu padanya. Tak kusangka, justru jalan ceritanya akan menjadi begini, kan?
Ps. Untuk nenek indekos, semoga nenek sehat selalu. Maaf aku tidak sempat memberi kabar jika aku tidak diterima di sekolah impianku. Maaf juga aku tidak sempat berkunjung lagi. Semoga nenek sehat selalu.

Komentar
Posting Komentar