Cerita dari Kelas Ilmu Lingkungan

Artikel ini ditulis pada 17 Desember 2019, di penghujung semester tiga. Dipublikasikan di komunitas pribadi, dan sekarang dipublikasikan untuk umum dengan suntingan seperlunya.

Untuk Prof dan teman-teman kelas Ilmu Lingkungan A,
Tahun Akademik 2019/2020.

Warning, it's a long story.

Ceritanya dimulai dari periode KRSan.

Aku termasuk orang yang “terlambat” isi KRS. Padahal malamnya aku udah siap-siap buat sima-war. Stand by jam 00.00, 1 Agutsus 2019, tapi ternyata simaster Biologi enggak ada tanda-tanda pembukaan periode pengisian KRS. Ternyata 1 Agustus 23.59, yaudah amanlah, pikirku. Tanggal 1 Agustus siangan, grup angkatan rame dong. TERNYATA PERANG KRS-nya UDAH MULAI! HEH! AKU KETINGGALAN! MANA LAGI DI LUAR! Tapi Alhamdulillah aku paketan jadi santuy, masih bisa isi.

Nah ini, di semester 3, mata mata kuliah Ilmu Lingkungan, ya mungkin sebagaipengantar Ekologi di semester 4. Oke, mari cek dosennya. Heladalah, dosen yang paling enak, kuota kelasnya udah habis dong. Hiks, sedih, gara-gara telat KRS-an. Akhirnya aku melirik kuota kelas lain. Kelas C masih ada, dan jeng jeeeeng... KELAS A MASIH DIKIT BANGET. Karena pengampunya adalah Prof. Ya, Profesor legendaris dari Lab. Ekologi dan Konservasi.

Hmmm, menarique. Dengan dasar penasaran, akhirnya aku memilih kelas Prof tersebut. His, cuma karena penasaran dan curiosity kills the cat. Entahlah, sepertinya teman-teman yang sekelas denganku beralasan jika sudah kehabisan kelas, makanya mau tak mau pilih kelas Prof. Tapi aku yakin, di antara mereka pasti juga ada yang sama penasarannya denganku. Hahahah.

Kelas Prof terkenal dengan jam masuknya yang lebih pagi. Kelas harusnya mulai jam 07.15, tapi Prof menghendaki jam 07.05 sudah harus siap di kelas. Lebih dari itu? NO, kamu silakan keluar, tidak boleh ikut kelas. Dan itu beneran terjadi. Namun setelah itu, Prof selalu bilang, “Bilang​ sama teman kalian di luar, bahwa saya sedih mereka tidak masuk kelas. Tapi itu untuk mendisiplinkan supaya besok lagi tidak terlambat.”

Prof sangat melegenda dari angkatan ke angkatan. Mulai dari jam masuknya memang terkesan menyebalkan, terlebih bagi kami yang sudah terbiasa masuk pukul 07.15, atau bahkan lebih ngaret karena dosen yang santuy. Namun tidak bagi Prof. Bahkan mendekati akhir semester, jam masuk seolah dipercepat menjadi pukul 07.00, setelah itu tidak boleh masuk. Prof memang selalu datang cepat, setelah dijemput oleh ketua kelas kami di ruangannya. Biasanya ketua kelas akan menginfokan kehadiran Prof lewat LINE: Prof masih di ruangan, Prof siap-siap ke kelas. Hehehe, lucu aja.

Prof, sebenarnya tidak seram seperti yang diceritakan kating-kating. Prof sangat baik.

Prof banyak bercerita tentang tempat asalnya, Pulau Weh, tentang bagaimana beliau belajar, bermain di pesisir, dan kata-kata Prof yang menjadi favoritku adalah, “Dibesarkan oleh angin dan suaraombak.”

Prof banyak memberi kami nasihat, terutama tentang SKS, agar tidak mengambilnya terlalu banyak. Prof menyarankan kami untuk hanya mengambil 18 SKS tiap semester, supaya dapat lulus tepat waktu (18 SKS x 8 semester = 144 SKS). Orang-orang yang lulus cumlaudedengan  waktu yang singkat, belum tentu langsung mendapat pekerjaan. Ya, aku cukup setuju, mengingat praktikum di semester 3 dan 4 yang masih “menggunung”, 4 praktikum. 

Kalau kalian ambil 24 SKS, nanti tewas.

Prof selalu menjadikan dirinya sebagai contoh. Beliau bercerita, bahwa beliau suka naik gunung, itulah mengapa beliau selalu menyarankan untuk hanya mengambil 18 SKS tiap semesternya sehingga akan selalu ada waktu luang untuk menjalani hobi. Beliau juga yang mendefinisikan rutinitas anak Biologi: Pagi kuliah, siang praktikum, malam mengerjakan laporan.

Prof memiliki kata-kata yang menjadi ciri khas beliau, seperti,

Ilmu ling – ? – kungan.

Eh, kok tertawa?

Kalian kenapa diam?

Saya benci kurva normal. Sangat benci. Apa? BUEEEENCI.

Nah, kata “Apa?” ini yang sangat khas. Beliau sering mengucapkannya dengan tujuan kami mengulangi frase terakhir yang beliau ucapkan. Pernah suatu malam, di kelas tambahan, sebelum beliau pulang,

“Saya mau makan harus masak dulu. Yang paling mudah, nasi goreng. Tinggal sreng sreng sreng. Apa?”

Sreng sreng sreng.” Seketika kami sekelas tertawa atas jawaban kami sendiri.

“Magelangan, Prof!” celetuk salah satu teman kami.

Sebenarnya, dalam 14 pertemuan kuliah, aku merasa Prof lebih banyak memberikan nasihat di sela-sela materi kuliah. Nasihat yang macam-macam. Prof juga sering bercerita tentang betapa perkebunan sawit telah mengubah ekosistem. Prof menegaskan bahwa beliau bukan membenci sawit, tetapi perkebunan sawit telah melebihi carryingcapacity alam sehingga harus diperhatikan lagi, jangan terlalu berlebihan. Perkebunan sawit yang luasnya ribuan hektar itu, jika sudah tidak produktif maka cara paling cepat untuk mengatasinya adalah dengan dibakar. Itulah mengapa sedang panas-panasnya kasus pembakaran hutan di pertengahan 2019.

Tidak ada yang kurasa salah dari cara mengajar Prof. Beliau sangat cerdas, keren! Beliau selalu menekankan kepada kami untuk mencatat apa yang beliau katakan, bukan menghafal PPT. Beliau awet muda di usianya yang tak lagi muda, dengan memiliki selera humor yang bagus. Tak jarang kami dibuat tertawa di dalam kelas. Namun itu dulu, sebelum tugas term papermenghantam kami bertubi-tubi.

Prof memberi kami tugas untuk menulis sebuah term paper yang dikerjakan secara berkelompok, terdiri dari 6 orang. Term paper dibuat dari 6 artikel jurnal Q1 yang ekosistem dan proses ekologinya senada, dengan 1 mahasiswa = 1 artikel jurnal. Sebelum menulis term paper, masing-masing dari kami harus membuat sinopsis dari artikel yang kami pilih. Bagi kami yang masih semester 3 dan sangat awam tentang apa itu term paper, apa itu artikel senada, dan apa itu jurnal Q1, kami sangat kebingungan sekalipun telah dijelaskan oleh Prof yang kala itu tengah mengejar waktu untuk berangkat ke lapangan. Hasilnya? NOL BESAR.

Kami benar-benar salah kaprah dalam pemilihan artikel senada dan penulisan sinopsis. Sedih? Sudah pasti. Dan proses pemilihan artikel senada itu benar-benar membutuhkan proses yang lama. Belum lagi jurnalnya harus Q1, yang mana merupakan kualitas jurnal tertinggi dengan bahasan yang tinggi pula. Menerjemahkannya sebelum ditulis menjadi sinopsis merupakan tantangan tersendiri bagi kami.

Namun dari tugas term paper ini, Prof memiliki maksud tersendiri, yaitu agar kami dapat bekerja sama. Biasanya kalau tugas kelompok, pasti pada mengerjakan sendiri-sendiri, kan? Kaya, aku bagian ini, kamu bagian itu, udah bye! Nope, Prof tidak menghendaki yang demikian. Prof menghendaki kinerja yang terintegrasi, bukan yang terpadu. Jika bekerja sendiri-sendiri, sudah dapat dipastikan artikel yang dipilih tidak akan senada. Dari sana, aku dan teman-teman sekelompok mulai mencoba untuk duduk bersama, mencari artikel se-senada mungkin untuk memperbaiki penolakan judul artikel. Karena kami sudah ditolak 2x. Terima kasih kepada Mbak Kana, asisten Prof pada masa itu, untuk tipsnya.

Sore itu, dengan kesan sudah mepet, sudah jenuh, sudah "bingung woy mau gimana artikel senadanya!", akhirnya kami nekad. "Yaudah ya, kita pakai yang ini saja. Nekda, ya? Kalau ditolak lagi, yaudah." Hahah. Nah, belum lagi, pengumpulan tugas ini hanya diberi waktu dua hari. Misalkan tugas diberikan hari Rabu, harus dikumpulkan hari Jumat di lab, batasnya sampai lab tutup.

Di kelas tambahan berikutnya, sinopsis kami dibagikan. Hal yang sangat menegangkan. Belum lagi kelompokku hanya hadir tiga orang, tiga sisanya tidak hadir karena kabar kelas tambahan yang sangat mendadak, yaitu tiga jam sebelum dimulai. Dengan sangat perlahan, kami membuka map bersama-sama, harap-harap cemas dengan coretan yang akan kami dapatkan di lembar sinopsis kami.

JENG JENG!

OK. OK. OK. OK. OK. OK.

Alhamdulillah! OK SEMUA GAEZ!
Gaada lagi yang namanya susah-susah nyari artikel!
Gaada lagi revisi judul artikel!
Gaada lagi harus baca ulang artikel dari awal!

Karena senang dan sedikit lega, boleh dong kami tersenyum dan tertawa. Tapi apa?

"Kalian jangan senang dulu! Memang artikel kalian sudah OK semua, sudah senada. Tapi sinopsisnya BURUK SEKALI! Perbaiki!"

Yah, tetap saja kami senang bukan kepalang. Kami lebih memiliki merevisi sinopsis artikel daripada harus pusing mencari artikel senada.

Cerita panjang di balik sinopsis term paper adalah pengalaman yang luar biasa sibuk! Masing-masing kami memiliki kesibukannya sendiri, mau tak mau juga harus mengalah. Pernah, aku izin keluar lab di lantai dua yang saat itu tengah mengerjakan penyusunan rangka cangak dan taksidermi tikus, ke fotokopian di lantai satu hanya untuk memberikan uang guna mencetak sinopsis karena temanku lupa membawa dompet. Habis itu, setelah kembali ke lab, harus lari-lari lagi ke fotokopian karena ternyata sinopsis kelompok kami masih ada yang kurang, antre komputer, dan ditahan teman nggak boleh pergi karena dia panik.

Mengikuti dinamika kelas yang seperti itu, dengan hal-hal random yang menyita hampir seluruh perhatian dan energi kami, tentu saja kami akhirnya sampai pada titik jenuh, terlebih saat minggu terakhir perkuliahan.

Namun terlepas dari kejenuhan itu, kelas Ilmu Lingkungan bersama Prof telah memberi warna yang lain dalam kehidupan semester 3-ku, menjadikannya begitu berkesan untuk dikenang. Yah, berkesan kelasnya, berkas hektik term paper-nya. Banyak pelajaran yang aku ambil dari Prof, baik itu materi Ilmu Lingkungan maupun kisah hidup Prof. Pelajaran tentang saling bekerja sama, saling membantu, benar-benar diterapkan di kelas Prof, melalui term paper.

Mungkin aku kapok dengan rasa penasaranku akan kelas Prof. No more curiosity, curiosity almost killed me. Ternyata legenda Prof memang dikenal oleh seluruh sivitas akademika Biologi. Meski begitu, terima kasih, Prof, telah banyak membagikan ilmu untuk sadar akan kelestarian ekosisten di Bumi, dan telah memberikan banyak nasihat yang baik kepada kami.

"
Semangat ya.
Kok semua diam?
Tadi itu nasihat, supaya kalian semangat.
"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan KKN

Peduli

Elektronika