Peduli

Kesal, itu yang kurasakan saat mereka sibuk sendiri. Bahkan mereka tidak menanyakakabarku, keadaanku, atau yang lainnya. Semuanya sia-sia kukerjakan untuk mereka.

Tulisan "Aku Sayang Kalian" di ruang keluarga itu sudah menguning. Tak ada yang bertanya siapa pembuatnya. Gambar yang berisi aku, kakak, ibu, dan ayahku itu sudah menumpuk di meja kerja ibuku yang paling bawah. Kartu ucapan selamat ulang tahun yang kuberikan untuk kakakku itu juga diabaikannya.

Setiap pulang sekolah, rasanya aku ingin menginap saja di rumah teman. Aku pernah menginap satu kali di rumah Airin, dan keluarganya memperdulikanku. Dan setiap kulangkahkan kakiku menuruni bus, aku ingin berpaling arah dan menuju taman kota untuk menghabiskan sore di sana. Di sana lebih menyenangkan, banyak orang tak kukenal yang menyapaku walau hanya sekedar bercanda.

 Setiap sarapan atau makan malam, aku sendirian. Memulai sendiri, mengakhiri sendiri. Aku sudah membangunkan mereka, tapi mereka tak peduli suaraku. Dan setelah aku memakai sepatu, bersiap untuk sekolah, mereka baru bangun dan tak menanyakanku. Hanya ibu atau ayah yang dengan tidak pedulinya memberiku uang saku. Bahkan pernah kuterima selembar seratus ribu dan aku tidak pernah meminta uang saku selama satu bulan lebih.

Dan seperti hari ini, saat aku mengetuk pintu rumah sepulang sekolah.

"Buka saja, tidak dikunci!" seru seseorang dari dalam. Aku tahu itu kakakku, Laila.

Lantas aku membuka pintu dan melihatnya sedang menonton teve sambil makan makanan ringan yang kubeli kemarin. Seharusnya itu untuk bekalku selama kemah lusa. Salahku sendiri meletakkannya sembarangan. Aku berjalan melewatinya, kusengaja.

"Mia, ini punyamu?" tanya Laila. Aku hanya mengangguk malas. "Nih, tadi enggak tahu punya siapa."

Hanya begitu? Ya, kubiarkan saja. Aku langsung merebutnya dan berjalan ke kamar. Kulihat makanan ringan besar itu. Masih setengah. Aku pun memasukkannya ke dalam tempat makanku. Setelah mengganti seragamku, kudengar ibu sudah pulang. Ibu biasanya akan meneriakkan sesuatu di telepon genggamnya. Meneriaki pelanggan yang pendengarannya kurang. Aku pun berniat untuk memberitahukan kepadanya bahwa lusa aku akan kemah dan meminta izin membawa salah satu payung rumah.

"Ma," panggilku. Ibu hanya menengok ke arahku. "Boleh pinjam payung? Lusa aku mau kemah."

"Ambil saja, Mia. Mama harus kembali ke tempat kerja lagi. Pelanggan minta Mama untuk menjelaskan produk baru perusahaan."

Aku mendengus pelan. Ya, paling tidak aku diizinkan. 
*****
Malamnya, kuhampiri ruang kerja ibu yang kosong. Ibuku masih bekerja, jadi aku bebas dari rasa panik ketahuan. Sementara ayah sedang bekerja ke luar negeri. Aku ke ruang kerja ibu untuk mengambil kembali gambarku. Tulisan di ruang keluarga itu juga sudah aku cabut. Tak ada gunanya lagi. 

Aku mulai mencari. Tumpukan kertas kerja itu membuatku bosan. Aku sudah tidak menemukannya, padahal dua tahun lalu masih ada. Apakah mungkin sudah dibuang? Aku pun mulai mencari di laci. Tidak ada. Ah, jangan-jangan memang dibuang. Lantas aku ingin kembali ke kamar untuk mempersiapkan kemah.

Sebelum sampai di kamar, kulihat pintu kamar ayah dan ibu terbuka. Perasaan tadi tidak ada yang membuka. Mungkin Laila yang mengambil kembali HP-nya yang disita beberapa hari yang lalu karena nilainya turun. Aku pun masuk.

Biasa saja. Kasur putih yang lebar, almari, meja dan gantungan. Saat melihat mantel milik ibu, aku merasa tertarik karena selama ini aku menginginkan mantel yang sama persis dengan milik ibu. Saat aku mengambilnya dari gantungan, aku langsung dikejutkan dengan ukurannya yang pas denganku. Aku pun memakainya. Sangat pas.

"Ah, aku beli pakai uangku sendiri saja," ujarku dalam hati.

Aku pun ingin mengembalikan mantel itu ke gantungan. Figura foto besar yang menggambarkan aku yang masih bayi sedang dipangkuan ibu, juga ayah yang berdiri di belakang kursi ibu dan Laila yang masih kecil berdiri di dekat ibu. Guratan senyum mereka, sudah lama tidak kulihat. Tapi ... Sesuatu terselip. Aku pun mengambilnya dari belakang figura. Mungkin surat milik ayah yang belum sempat terbaca atau apa.

Gambarku, terselip di sana. Kusam, tapi masih terlihat baru.

"Kau boleh memilikinya," ujar seseorang.

Dengan masih memegang gambar dan mantel ibu, aku menoleh. Ibu sudah pulang. "Maaf Mama belum punya waktu untukmu. Tapi sekarang, kau boleh menempel gambar-gambar itu di mana pun dan Mama akan selalu memperhatikannya. Dan mantel itu, sebenarnya hadiah ulang tahunmu tahun lalu."

Lalu Laila datang. Berteriak senang sambil menunjukkan beberapa kartu. Itu semua kartu ucapanku untuknya. Dia memperhatikan, dia menemukannya kembali.

"Maaf belum sempat berterima kasih, Mia."

Jahatnya aku, mengira mereka tak peduli. Ingin rasanya aku memeluk mereka. Lantas kelebarkan lenganku dan memeluk erat keduanya. Meski ayah belum ada di sini, aku yakin ayah juga peduli.
 (Sumber gambar : Google)
~~~

Komentar

  1. great story, Azka..

    Hal yang sama seperti yang kurasakan saat ini.. ngerasa kyk gak dipedulikan sama keluarga, buatku bersama temen-temen lebih nyaman dan tentram.. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Kak Aisya ... Tapi sebenarnya mereka peduli kok =)

      Hapus
  2. Great Story! Great Post! Like it<3
    aku banget(kadang) :3

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan KKN

Elektronika